Edelweiss

by: Ismaya_Rai

     Puncak tinggal selemparan batu tetapi kakiku malah hampir membeku, di sini, ditengah gundukan pasir yang seakan tanpa akhir. Sepanjang jalan menuju puncak hanya butir bebatuan dan tanah kering yang kulihat, gersang, tak satupun nampak alang-alang. Namun bunga kecil itu tersenyum dengan kelopaknya yang merekah sumringah. Tak ayal akupun ikut tersenyum, penuh kemenangan.
     “Del, kali ini aku yang menang,” batinku dalam hati. Satu tangkai bunga edelweiss ini sudah cukup bagiku sebagai tanda kemenanganku pada seseorang.

     “Hai…” seorang gadis manis berkacamata minus menyapa ke arahku siang itu. Aku menoleh kebelakang, siapa tahu dia salah orang.
      “Ya kamu, Bintang kan?” Dia meyakinkan dirinya tentang namaku.
     “Ya, Bintang.” aku menjawab dengan nada heran. Rupanya belum genap satu semester aku menuntut ilmu di sini sudah ada yang mengenalku, gadis manis pula… hehe...
     “Aku Edel, Edelweiss.” tanpa aku tanya, dengan semangat dia menyebutkan namanya.
     Rupanya dia teman satu kelompokku dalam diskusi kasus siang ini. Aku tertawa kecil dalam hati. Mana mungkin dia menyapaku tanpa sebab, misalnya “Hai aku Edel, kamu Bintang kan? Boleh kenalan?” ku buang jauh-jauh pikiranku itu.
Semakin hari aku semakin mengenal Edel, gadis lincah yang selalu berceloteh, di samping itu dia memang manis. Kami sering melakukan kegiatan bersama-sama, mulai dari tugas sampai hanya sekedar ngobrol biasa. Kadang aku miris, mahasiswa dekil nan kusam sepertiku berdiskusi banyak hal dengan gadis lembut nan cantik ini. Pesimis mulai terbit dalam sanubari.
     Aku suka ketika dia mulai menyombongkan diri. Gayanya lucu, tengil dan mmmhh… jelita. Aku hanya mencuri pandang saja saat dia dengan sangat antusias menceritakan nilai ujiannya yang hasilnya dua kali lipat dengan hasil ujianku.
     “Makanya kamu belajar, Bin!” suatu ketika dia meledek.
     “Ah, bodohku memang sudah bawaan, Del.” aku menyerah tak mampu meladeni
     “Bodoh mu itu bukan bawaan,” dia dengan bijak meyakinkanku
     “Lantas?” wajahku cerah.
     “Bodoh mu itu karakter.”
     “Karakter?” aku semakin penasaran.
     “Kalau kamu tidak bodoh berarti kamu menipu dirimu sendiri... hahaha”
     Wajahku yang muram kembali kusam mendengar ejekannya. Namun tawa Edel sungguh manis. Sial! Gadis ini selalu saja bisa membuatku merengut dan terpincut pada saat yang sama.
     Oke, kamu yang menang, Del.

     Semester ini aku jarang bertemu Edel, dia terlalu sibuk sebagai asisten laboratorium. Begitu pula aku, akupun sibuk semester ini. Bukan karena aku seorang asisten lab, tapi kegiatan naik gunungku padat musim kemarau ini.
     Menyipit kedua matanya ketika melihatku sore itu. Waktu itu aku sedang membereskan carrier ku.
     “Bintang,” dia menyapaku, berbeda sekali dengan saat dia menyapaku pertama kali.
     Wajar saja, mukaku semakin terbakar matahari, kulitku semakin legam layaknya logam, dan penampilanku semakin hancur tak terurus. Aku hanya nyengir menjejerkan gigi kuningku. Dia menggelengkan kepala, sambil sesekali tertawa. Dan akupun seperti oli bekas yang meleleh melihat tawanya.
     Sore itu dia mengajakku ke toko buku. Menurutnya aku perlu di bawa ke tempat bernuansa akademis agar aura mahasiswaku terpancar kembali. Lantas aura apa yang selama ini terpancar dari diriku? Di toko buku itu dia membeli beberapa buku, dan aku hanya berjalan mengikutinya di belakang. Kadang dia mengomel banyak tentang nilai mata kuliahku yang semakin abstrak. Akupun hanya mengangguk mengiyakan. Dia berbicara banyak tentang masa depanku bila hidupku terus seperti ini. Hingga akhirnya dia bertanya,
     “Selama kuliah ini, apa yang bisa kamu banggakan Bin?”
Aku bingung menjawab pertanyaanya, sampai akhirnya aku mantap mengambil peta Indonesia di rak sebelah kami. Ku bentangkan peta itu di hadapannya, ku ambil pensil kecil di tasku. Beberapa tanda segitiga di peta itu aku lingkari mulai dari pulau Sumatera sampai pulau Lombok. Kuperlihatkan padanya.
     “Itu semua gunung-gunung yang pernah kudaki,” aku tersenyum bangga.
Seketika pensil itu sudah mendarat darurat di atas dahiku.
     “Pletak!!”

     Aku melihat Edel sebagai sosok ideal, pintar, cerdas, dan manis. Tentu tidak ideal dengan pemuda legam, awut-awutan dan memiliki “karakter” bodoh sepertiku. Aku bertanya pada Edel, apa yang belum sempat dia dapat sampai saat ini, karena kurasa semua sudah dia dapat.
     “Aku belum pernah menggenggam namaku di tanganku sendiri, Bin.”
     “Maksudmu?” aku penasaran.
     “Aku belum pernah pegang bunga edelweiss, padahal namaku Edelweiss” lirih dia bicara.
     Sontak aku terkejut dengan impiannya. Aku sudah bolak-balik naik turun gunung, edelweiss bukan bunga yang aneh bagiku. Makannya aku belum pernah memetik bunga itu, toh lain kali aku naik gunung, aku akan melihat edelweiss lagi. Bentuknya pun tidak indah, bunga kecil-kecil, lebih tepat mungkin disebut tumbuhan perdu. Hanya beberapa orang yang mungkin memuja bunga itu, karena bunga abadi lah, bunga tanpa layu lah. Tapi aku bukan pemuda melankolis seperti Glen Fredly, yang nama bulan Januari pun dijadikan judul lagu.
     “Kali ini aku menang, Del” ujarku mantap. Dan dia hanya mengerutkan dahi.
     “Besok kalau aku turun gunung, akan ku petik bunga itu, ku simpan di tanganmu.” Dia hanya tersenyum sumringah.
     “Kamu, Bin? Kamu tidak mau menggenggam bintang ditanganmu? Setidaknya gapai bintang mu sendiri, cita-citamu sendiri. Apa perlu aku yang mengambilkan bintang untukmu?” dia bertanya balik padaku.
     “Tetap kamu tidak bakal menang, Del. Mustahil kamu jadi astronot dan bawa bintang dari langit ke sini” ujarku meledek.
     “Lihat saja nanti” tersenyum dia mengerlingkan mata.

     Aku percepat langkahku untuk turun gunung agar aku bisa segera pulang. Setibanya aku di basecamp ponsel ku berdering tanda pesan masuk dari seorang kawan.
     Bin, Edel kecelakaan sekarang masuk rumah sakit.
     Terbelalak mataku membaca pesan itu. Belum sempat aku balas, indikator low battery menyala di handphone ku dan “pett” mati. Segera kukemasi barangku, carrier berat dan kotor kuangkat, pegal dan keram tak kurasa. Sepanjang perjalanan aku hanya berdoa sembari menggenggam bunga edelweiss.
     Ketika aku sampai di kotaku, beberapa teman segera menjemput, mereka bilang kita tidak ke rumah sakit, tapi langsung ke rumah Edel. Mereka bercerita Edel mengalami kecelakaan saat pulang dari pantai. Waktu itu hujan besar, tapi Edel tetap berkeras ke pantai, katanya dia akan mengunjungi “teman”. Syukurlah Edel sudah boleh pulang, aku menarik nafas lega menyimpulkan sendiri. Lihat saja, Del, kali ini kamu kalah. Kubawa bunga ini dan kamu pegang ditanganmu..
     Bajuku masih dekil pada saat kami sampai di depan rumah Edel, banyak orang berkerumun. Aku kebingungan sendiri di sana. Hingga temanku bilang,
     “Sabar, Bin, Edel meninggal. Dia sudah sempat dirawat, namun tidak tertolong.”
     Aku lemas terkulai, tak tahu mana utara mana selatan. Aku bingung seakan dimensi ini bukan duniaku. Ingin aku berteriak namun suaranya hanya tertahan di dalam dada. Ingin aku menangis tapi air mataku tak kunjung menetes. Gontai aku mengikuti rombongan kawanku menuju tempat peristirahatan terakhir Edel.
     Tanah itu masih basah, di atasnya bunga masih segar bertebaran. Ingin aku sesenggukan menjerit melompat memeluk pusara Edel, tapi untuk memikirkan ini nyata atau mimpi pun aku sungguh tak bertenaga. Masih kugenggam bunga edelweiss kering di tanganku, ketika seorang anak kecil yang ternyata adik Edel menegurku.
     “Kak bintang?”
     “Iya “
     “Kak Edel membawa kotak ini waktu pulang dari pantai, katanya ini buat kak Bintang”
     Ku buka kotaknya, saat itu juga aku semakin tak berdaya. Bintang laut itu berwarna ungu, pasir putih pantai masih ada dalam kotak. Di dalamnya terdapat catatan,
Aku tidak mau kalah Bin, kamu harus pegang “bintang” di tanganmu sendiri
     Aku menjerit kepada langit, mengaum kepada gunung, dan mengutuk matahari. Bunga edelweiss ditangaku berhamburan di atas kuburan Edelweiss.

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Leave a comment

Desing Downloaded From Free Blogger Templates | Free Website Templates | Free PSD Graphics