Cerita di Kala Hujan

Aku suka saat seperti ini. Memandang hujan dari balik jendela sambil menikmati secangkir coklat panas. Harum coklat bercampur bau tanah basah yang menyegarkan, selalu bisa memberikan ketenangan. Aku suka hujan. Aroma tanah yang terjamah olehnya, suara air yang berisik berlomba-lomba turun dari langit, gemuruh petir, dan yang pasti aku selalu menantikan pelangi yang akan muncul sesudahnya.
Setidaknya dulu sewaktu aku masih kecil, sering melihat pelangi muncul setelah hujan reda. Tapi sekarang, entah kenapa aku nggak pernah lagi melihat pelangi itu muncul. Mungkin karena alam sudah banyak berubah, atau karena pemanasan global kali. Emang ngaruh ya? Ah...aku juga nggak ngerti.
“Riiiiiiiii...” sebuah suara yang lengkingannya mengalahkan alarm pemadam kebakaran memanggilku, hampir membuat cangkir dalam genggamanku meloncat.
“Apaan sih teriak-teriak kaya gitu? Aku nggak budeg kali” omelku sambil meletakkan cangkir yang sudah kosong ke meja. Cewek manis di depanku ini nggak peduli dengan tampang garangku, malah senyum-senyum nggak jelas. Cantik. Ya, Keiko memang cantik. Gadis berkulit putih dengan rambut lurus sebahu, bibirnya mungil menggemaskan, dan mata sipitnya serta lesung pipi itu menambah kesempurnaan wajahnya. Keiko lebih mirip Ibunya yang orang Jepang daripada ayahnya yang Jawa. Aku suka melihatnya tersenyum ataupun tertawa, karena mata sipitnya pasti merem, lucu. Rumah kami bersebelahan, kami bersahabat dari kecil, kami tumbuh bersama, selalu menghabiskan waktu bersama, dan aku selalu ingin melindunginya.
            “Ngapain sih kamu senyam senyum nggak jelas gitu? Kesambet ya?” kataku sambil begidik ngeri. Dia mencubit kedua pipiku manja.
“Sembarangan aja kalau ngomong. Aku tuh lagi seneeeennnggg....bahagia tiada tara....” dia mengambil bantal dan memeluknya.
“Lebay deh kalau ngomong” aku lempar bantal yang aku pegang ke arahnya, dan pas kena mukanya.
“Aduh...jahat banget sih kamu Ri....sakit tahu!!” protesnya sambil berusaha membalasku. Aku berkelit. Jadilah kami perang bantal.
“Ah udah ah...kamu tuh nggak bisa diajak ngomong serius ya!” dia cemberut.
Aku paling nggak bisa lihat Keiko cemberut dan merajuk seperti sekarang ini. Ah, aku akan melakukan apa saja asal bisa selalu melihat senyumannya.
“Ya udah deh nona manis, serius nih serius.” aku duduk dengan sikap sempurna, dengan wajah yang aku buat seserius mungkin. Dan meledaklah tawa Keiko.
“Yeeee....katanya disuruh serius, giliran udah serius malah diketawain” aku pura-pura marah.
“Maaf deh, Ri...habisnya tampang kamu tuh nggak pantes kalau serius gitu...hahaha...”
“Ketawa aja terus, aku mau tidur,” aku beranjak dari kursi, tapi Keiko menahanku.
“Yah...nggak asik ah, gitu aja ngambek. Maaf deh maaf...nggak ketawa lagi deh, janji...” dia membujukku. Dalam hati aku tertawa puas melihat Keiko yang merasa bersalah. Dia terlihat manis kalau sedang seperti itu.
“Mau dengerin ceritaku nggak nih?” tanyanya
Mbak Ning datang menyela, menyuguhkan secangkir coklat panas untuk Keiko di atas meja, yang langsung berpindah ke tangan Keiko.
“Terima kasih Mbak Ning yang baik..” ujarnya pada Mbak Ning yang membuatku makin gemas karena dia tidak segera mulai ceritanya.
“Ya udah buruan cerita,” aku pun menurut, kembali duduk di kursiku semula. Keiko kembali tersenyum.
“Kamu tahu Ivan kan? Yang cakep itu,” tanyanya. Aku hanya mengangguk. Ya, mungkin semua penghuni kampus termasuk makhluk halus yang ada disana tahu siapa Ivan. Ivan memang cakep. Dan popular. Satu lagi, mungkin karena saking lakunya dia direbutin sama cewek-cewek dan saking baiknya dia sampai-sampai merasa harus bersikap “adil” sama semua cewek itu, makanya semua cewek dipacarin. Aku nggak pernah lihat Ivan jalan sama satu cewek yang sama lebih dari seminggu.
            Aku mencium sesuatu yang nggak beres, sesuatu yang buruk tepatnya. Kalau Keiko dengan wajah cerah ceria gembira ria dan senyumnya selalu menghiasi wajah manisnya, tiba-tiba ngomongin Ivan, guess what? Oh Tuhan, semoga tebakanku salah, aku berdoa dalam hati.
“Ri....Ivan barusan nembak aku.” Dia berkata dengan serius dan susah payah berusaha menyembunyikan senyumnya yang terus-terusan muncul.
“Tapi kamu tolak kan, Kei?” tanyaku penuh harap.
Dengan tampang innocent dia menggeleng. Sial. Bego banget sih cewek satu ini. Dia tahu siapa Ivan, semua orang tahu seberapa brengseknya dia. Dan Keiko malah mau-mau aja jadi ceweknya??? What the hell you though, Kei?? Aku masih shock, belum bisa berkata-kata.
“Ri, kok kamu diam aja sih? Harusnya kamu ikut seneng dong sahabat kamu yang manis ini bisa dapetin Ivan yang...well...banyak fans itu,” Keiko mengatakannya dengan penuh kebanggaan, seolah-olah dia baru saja memenangkan sebuah piala setelah pertandingan yang mempertaruhkan nyawa. Oke, terlalu berlebihan. Setidaknya pertandingan balap karung antar kampung.
“Kei, kamu tahu kan gimana Ivan? Playboy brengsek. Kok bisa-bisanya sih kamu mau jadi pacarnya?” aku mulai nggak bisa mengontrol emosiku. Keiko kaget melihat reaksiku yang mungkin diluar perkiraannya.
“Ivan emang sering gonta ganti cewek, Ri, mungkin dia emang playboy, tapi dia nggak brengsek!” dia masih berusaha membela cowok itu.
“Halah Kei, semua orang di kampus tuh ya udah pada tahu gimana brengseknya Ivan. Hello...kemana aja ya Keiko sampai nggak tahu itu.” emosiku semakin bertambah.
“Apaan sih kamu, Ri? Kamu itu sahabatku bukan sih? Udah lama aku naksir sama Ivan. Sekarang aku bisa dapetin dia. Seharusnya kamu ikut seneng dong kalau aku seneng.” Keiko mulai terpancing emosinya.
“Nah...nah..sekarang aku yang nanya, kamu masih anggap aku sahabat nggak? Sejak kapan kamu suka sama Ivan, kok nggak pernah cerita ke aku? Kenapa kamu nggak minta pendapatku dulu sebelum nerima Ivan? Keiko yang aku kenal selalu minta pendapatku setiap deket sama cowok!” suaraku bergetar menahan emosi.
“Ri, aku juga bisa mutusin sendiri apa yang aku mau. Nggak semuanya kan harus minta pendapat kamu dulu? Aku juga punya hak dong nentuin sendiri apa yang mau aku lakuin atau yang nggak pengen aku lakuin?” Keiko tampak semakin kesal, wajahnya merah menahan marah.
“Kei, karena kamu itu sahabatku aku ngomong gini! Aku cuma mau ngingetin kamu aja, aku nggak mau ya sahabatku dimainin sama playboy brengsek kaya Ivan itu. Masih banyak cowok yang lebih baik, Kei.” Aku menurunkan suaraku beberapa oktaf.
“Makasih, Ri, udah ngingetin. Aku udah dewasa, udah bisa milih mana yang baik mana yang nggak,” Keiko sepertinya tersinggung. Dia berjalan meninggalkanku yang masih terpaku.
***
            Sejak hari itu, Keiko selalu menghindariku. Aku sudah mencoba meminta maaf, tapi sikapnya masih dingin padaku. Dia memang terlihat bahagia sama si Ivan itu. Aku juga ikut senang kalo Keiko bahagia. Karena yang terpenting buat aku adalah kebahagiaan Keiko. Maafin aku, Kei, aku nggak bermaksud nyakitin kamu. Aku cuma khawatir kalau kamu jalan sama Ivan. Aku nggak rela. Aaahhh Keiko, aku kangen sama kamu. Aku kangen ngobrol dan bercanda sama kamu, aku kangen jalan sama kamu, aku kangen godain kamu, aku kangen senyuman kamu, pokoknya aku kangen banget. Titik.
            Hari ini hujan lagi. Langit kelam, sama seperti hatiku saat ini. Aku merasa dingin dan sepi. Hanya coklat panas ini yang setia menemaniku. Ya, sedikit menghangatkan. Tapi aku merasa ada yang kurang. Biasanya ada Keiko yang menemaniku melihat hujan dibalik jendela sambil menikmati secangkir coklat panas. Tapi sekarang aku sendirian. Ah, Keiko. Seandainya kamu disini.
            “Riiii....” seseorang memanggilku lirih. Suara itu hampir seperti gumaman saja ditengah derai hujan dan petir. Tapi aku bisa mendengarnya dengan jelas, karena suara itu sangat aku rindukan. Aku menoleh ke arah suara itu berasal. Dan tepat berdiri di hadapanku sekarang, orang yang selama beberapa waktu ini selalu ada dipikiranku, yang sangat aku khawatirkan sekaligus aku rindukan.
            “Kei...” hanya itu yang bisa keluar dari mulutku. Aku kaget dengan kedatangan Keiko yang tiba-tiba. Dan lebih kaget lagi melihatnya datang dengan beruarai air mata. Sangat berbeda dengan terakhir kali dia datang kesini. Tanpa berkata apa-apa lagi Keiko langsung memelukku.
            “Kei, kamu kenapa? Kok nangis?’ tanyaku hati-hati. Keiko masih menangis dalam pelukanku.
            “Maafin aku ya, Ri...! Aku...aku... udah ngomong kasar... sama... kamu.... dan nggak mau... dengar... nasehat kamu.” Disela isak tangisnya Keiko mencoba bicara.
            “Iya...tapi kenapa sampai nangis-nnagis gini? Kamu nggak apa-apa kan, Kei?” tanyaku lagi.
            “Aku....aku...” Keiko nggak meneruskan kalimatnya dan dia menangis lebih keras.
            “Aduh, Kei...udah dong nangisnya. Tenang dulu ya, jangan nangis lagi. Kalau udah tenang baru cerita,” aku hapus air matanya, aku cium pipinya, dan kupeluk dia sekali lagi. Keiko memelukku erat sekali. Aku membelai rambutnya dan berusaha menenangkannya. Akhirnya usahaku membuahkan hasil. Keiko sedikit agak tenang sekarang,
            “Nih minum coklat panas dulu biar lebih tenang,” aku menyodorkan cangkir berisi coklat panas yang tadi aku minum. Keiko menerimanya dan langsung meminumnya. Dia menyerahkan kembali cangkirnya padaku. Aku memberinya tissue, dan dia menyeka air mata serta ingusnya.
            “Ri, maaf aku nggak dengerin nasehat kamu waktu itu, malah aku ngomong kasar ke kamu.” Keiko menunduk dan masih berusaha menghentikan air matanya. Aku masih diam menanti kelanjutannya.
            “Iya...kamu benar, Ri, Ivan emang brengsek. Dia cuma mainin aku aja. Dia nggak serius suka sama aku.” Keiko manghela nafas.
            “Kemarin aku mergokin dia lagi mesra-mesraan sama Rani,” wajah Keiko berubah merah menahan marah.
            “Kalau aja aku dengerin kamu waktu itu...” Keiko pun menangis lagi. Aku merengkuhnya dalam pelukanku. Aku marah sekali mendengar semua ini. Sangat sangat marah. Aku tahu kejadian seperti ini cepat atau lambat pasti akan terjadi. Tapi aku nggak pernah berharap Ivan nyakitin Keiko seperti sekarang ini. Si Ivan itu, aku ingin sekali menghajarnya, mencabik-cabiknya, atau mungkin mencincangnya. Terlalu sadis memang kedengarannya. Tapi dia sudah membuat sahabatku menangis, membuat Keiko sangat...kacau. Aku nggak bisa maafin dia begitu saja.
            “Kei...kamu sadar nggak? Kamu udah nyia-nyiain air mata kamu,” Aku mencoba bersikap tenang demi Keiko. Aku nggak boleh ikut emosi.
            “Cowok brengsek gitu kok ditangisin sih, Kei...nggak pantes!! Harusnya kamu tunjukin ke dia, you’re fine, Keiko bukan cewek lemah.” Aku mencoba menguatkannya.
            “Kamu nggak butuh cowok macam Ivan itu. Keiko bisa dapat yang jauh...jauh...lebih baik dari dia. Masih banyak yang sayang sama kamu, ada aku juga.” Aku melanjutkan.
            “Makasih ya, Ri...aku pikir kamu bakal marah sama aku, nggak mau maafin aku. Aku sedih bukan karena Ivan mainin aku. Iya aku marah, aku sakit hati, tapi aku juga bersyukur bisa tahu lebih cepat kalau dia....” Keiko nggak melanjutkan kalimatnya.
            “Tapi yang bikin aku sedih, aku udah kasar sama kamu, nggak dengerin kamu, ngejauhin kamu, dan sempat marah sama kamu, Ri...Maaf ya...” katanya merajuk dengan ekspresi bersalahnya. Aku tersenyum dan meraih tangannya.
            “Kei, aku nggak pernah marah sama kamu. Aku sayang sama kamu,” kalimat tulus yang keluar dari hatiku.
            “Makasih ya, Ri...aku juga sayang sama kamu...aku benar-benar bersyukur punya sahabat sebaik kamu,” Keiko mencium pipiku dan memelukku.
Ingin rasanya bisa menghentikan waktu. Aku ingin selalu ada disamping Keiko. Aku sayang banget sama kamu, Kei, lebih dari sekedar sahabat. Aku ingin selalu bisa ngelindungin kamu, nggak akan biarin kamu terluka dan menangis. Apa aku boleh memiliki rasa ini? Apa aku mengkhianati persahabatan kita, Kei? Entahlah. Yang aku tahu, semakin lama rasa ini semakin besar. Aku sudah mencoba mengabaikannya, aku sudah berusaha mengenyahkannya, tapi hasilnya nihil. Aku tahu seharusnya aku nggak boleh punya rasa ini. Aku sadar ini sesuatu yang salah, Kei, sesuatu yang semestinya nggak terjadi diantara kita. Tapi apa yang harus aku lakukan? Aku kalah, Kei. Kalah sama perasaan yang tidak semestinya ini. Dan sekarang aku akan membiarkannya saja, menyimpannya untukku sendiri. Biar aku saja yang tahu, kamu nggak perlu tahu. Aku nggak mau mempertaruhkan persahabatan kita yang kita bangun dari kecil. Cukup begini saja, Kei.
“Ri...” aku masih terpaku dalam lamunanku.
“Ri...” sekali lagi Keiko memanggilku.
“RIANAAAAA” Keiko berteriak memanggil namaku. Aku tersadar dari lamunanku.
“Hah? Apaan sih, Kei, teriak-teriak gitu?!” tanyaku bingung.
“Dipanggil-panggil diam aja sih. Ngelamun mulu. Mikirin apa sih nona Riana yang cantik?” tanyanya usil.
“Siapa yang ngelamun? Tuh hujannya berisik jadi nggak dengar deh.” Aku ngeles.
”Nggak usah bohong deh,” Keiko melempar bantal kearahku. Aku membalasnya. Dan sekali lagi perang bantal pun dimulai.
--***--
These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Leave a comment

Desing Downloaded From Free Blogger Templates | Free Website Templates | Free PSD Graphics