by: Sinta Mahardika
Hmm hujan turun lagi, seperti saat hujan-hujan sebelumnya aku bergegas menyiapkan secangkir coklat panas untuk Mbak Riana, anak gadis majikanku satu-satunya. Memang usia kami terpaut tidak terlalu jauh, sehingga Mbak Riana menolak jika kupanggil dengan sebutan Non. Dia memintaku untuk memanggilnya Mbak Riana. Dia pun memanggilku dengan sebutan yang sama, Mbak Ning.
Hmm hujan turun lagi, seperti saat hujan-hujan sebelumnya aku bergegas menyiapkan secangkir coklat panas untuk Mbak Riana, anak gadis majikanku satu-satunya. Memang usia kami terpaut tidak terlalu jauh, sehingga Mbak Riana menolak jika kupanggil dengan sebutan Non. Dia memintaku untuk memanggilnya Mbak Riana. Dia pun memanggilku dengan sebutan yang sama, Mbak Ning.
Tiga sendok teh coklat bubuk, sejumput kayumanis bubuk, diseduh dalam secangkir air panas. Itu racikan yang diajarkannya padaku dulu. Entah apa enaknya menambahkan kayumanis ke dalam coklat panasnya itu, yah namanya juga selera. O ya, satu lagi jangan mengaduk minuman itu, karena Mbak Riana memang lebih suka mengaduknya sendiri. Sofa di ruang keluarga adalah tempat favoritnya untuk menghabiskan waktu di kala hujan. Duduk dengan kedua kaki selonjor di atas sofa, mata memandang ke arah jendela, tangan kiri memegang cangkir sementara tangan kanannya mengaduk minumannya perlahan-lahan. Sesekali dihirupnya uap panas yang keluar dari cangkir, dhirupnya dalam-dalam dengan mata terpejam. Ya, dia memang punya caranya sendiri untuk menikmati minuman yang katanya bisa menenangkan pikiran itu, seperti ia juga punya caranya sendiri untuk menentukan pilihannya setelah peristiwa yang menggemparkan seluruh keluarga besarnya dulu.
Ting tong...
Ting tong...
Kudengar suara bel rumah berbunyi. Bergegas aku membuka pintu utama setelah kuangsurkan secangkir coklat panas kepada Mbak Riana. Sudah kuduga, pasti...
“Mbak Keiko, hujan-hujanan ya kok bajunya jadi basah gitu” ujarku sambil membuka pintu lebih lebar untuknya.
“Halo Mbak Ning, iya nih tadi buru-buru ke sini males bawa payung hehe, tapi nggak apa-apa kok Cuma basah sedikit ini.”jawabnya sembari mengibas-ngibaskan tangannya pada bajunya yang basah.
Lalu tanpa bertanya lagi, seperti biasa dia akan langsung melangkah menuju ruang keluarga, tempat favorit Mbak Riana, ehm mereka berdua lebih tepatnya. Mereka bisa menghabiskan waktu berjam-jam ngobrol dan bercangkir-cangkir coklat panas di tempat itu menunggui hujan reda. Ya, selalu begitu saat hujan turun.
Mbak Keiko sejak kecil sudah bersahabat dengan Mbak Riana, tidak heran kalau hobi mereka memandangi hujan, pelangi dan kegilaannya pada coklat sama persis. Dulu aku sering memanggilnya Mbak Jepang, karena wajahmya yang benar-benar Jepang mewarisi gen mamanya. Dan dia akan ngambek kalau aku panggil begitu, “Biar wajah Jepang tapi jiwa saya kan Indonesia orang lahir besar juga di sini” ujarnya dengan nada tinggi yang dibuat-buat seolah sedang marah. Aku senang menggodanya seperti itu. Tapi sekarang aku sudah tidak lagi memanggilnya dengan sebutan Mbak Jepang.
“Riiiiii......” panggil Mbak Keiko, setengah berteriak yang disambung dengan omelan Mbak Riana lantaran kaget mendengar teriakan sahabatnya.
Sejurus kemudian aku lihat mereka berdua tengah asik ngobrol, entah mengapa tiba-tiba aku tersenyum sendiri melihat keakraban mereka.
Tanpa diminta, segera kubuatkan secangkir coklat panas untuk Mbak Keiko.
“Mau dengerin ceritaku nggak nih?” Tanya Mbak Keiko setengah merajuk
Kuletakkan cangkir yang masih beruap panas itu diatas meja sambil tersenyum ke arah Mbak Keiko, yang disambutnya dengan ucapan terima kasih. Aku beranjak dari situ kembali melanjutkan pekerjaanku di dapur. Memasak untuk makan siang mereka. Sayur asem, ikan gurami goreng, tempe dan tahu goreng, udang asam manis, sambal terasi yang diberi perasan jeruk purut dan tidak ketinggalan kerupuk bawang kesukaan Mbak Riana. Hmm...sepertinya menu yang pas dimakan hujan-hujan begini. Seger, dan pasti sambalnya langsung bikin mata melek, hehe.
Sayup-sayup aku dengar seperti ada yang sedang berantem. Siapa ya? Apa mungkin Mbak Keiko sama Mbak Riana lagi berantem. Penasaran aku coba mencuri dengar dari ruang makan.
“Kei, kamu tahu kan gimana Ivan? Playboy brengsek. Kok bisa-bisanya sih kamu mau jadi pacarnya?” Kudengar Mbak Riana berucap penuh emosi.
“Ivan emang sering gonta ganti cewek, Ri, mungkin dia emang playboy, tapi dia nggak brengsek!” Mbak Keiko mencoba membela diri.
“Halah Kei, semua orang di kampus tuh ya udah pada tahu gimana brengseknya Ivan. Hello...kemana aja ya Keiko sampai nggak tahu itu.” Suara Mbak Riana makin meninggi.
“Apaan sih kamu, Ri? Kamu itu sahabatku bukan sih? Udah lama aku naksir sama Ivan. Sekarang aku bisa dapetin dia. Seharusnya kamu ikut seneng dong kalau aku seneng.” Mbak Keiko mulai terpancing emosinya.
“Nah...nah..sekarang aku yang nanya, kamu masih anggap aku sahabat nggak? Sejak kapan kamu suka sama Ivan, kok nggak pernah cerita ke aku? Kenapa kamu nggak minta pendapatku dulu sebelum nerima Ivan? Keiko yang aku kenal selalu minta pendapatku setiap deket sama cowok!” balas Mbak Riana
Aduh gawat, nggak biasanya mereka berantem seserius itu. Aku balik lagi ke dapur membereskan peralatan memasakku. Selang lima belas menit aku memberanikan diri menuju ruang keluarga memberitahukan kalau makan siang mereka sudah siap. Aku akan bersikap sewajar mungkin seperti aku tidak tahu pertengkaran di antara mereka. Tapi, kenapa sekarang Mbak Riana sendirian, mana Mbak Keiko, batinku. Ah, jangan-jangan dia ngambek lagi.
“Mbak, makan siangnya sudah siap. Mbak Riana sama Mbak Keiko mau makan di ruang makan atau di sini saja?” tanyaku padanya.
“Aku lagi males makan Mbak Ning, udah entar aja kalau laper aku ambil sendiri. Lagian Keiko nya juga udah pulang” jawabnya ogah-ogahan sembari mengangsurkan cangkirnya yang sudah kosong padaku.
“O ya sudah kalau begitu saya permisi ke belakang Mbak.” Aku menjawab sambil melirik roman wajah Non Riana yang nampak muram.
Sejak saat itu Mbak Keiko tidak pernah lagi muncul di rumah ini. Kasihan aku melihat Mbak Riana, sekarang dia sangat kesepian. Tak ada lagi yang menemaninya memandang rintik hujan, dan mencari jejak pelangi setelahnya. Wajahnya tampak selalu kusut, tidak seceria yang dulu. Sepertinya masalah di antara mereka berdua benar-benar rumit.
***
Huh..berat sekali. Kutenteng semua barang belanjaanku di tangan kiri sementara tangan kanan menempelkan hape ke telingaku.
“Iya Mbak, nanti saya belikan” jawabku sambil ngedumel
“Kenapa nggak dari tadi mintanya. Kan repot kalo mesti balik lagi ke dalam supermarket, untung Mas Suryo tidak jauh-jauh amat markir mobilnya.”
Melihatku dengan tentengan belanjaan yang bujug buset banyaknya, Mas Suryo, sopir keluarga Mbak Riana sadar diri dan langsung mengambil semua tentengan di tanganku kemudian menaruhnya di jok mobil paling belakang.
“Mas Suryo, saya mau balik lagi ke dalam. Mbak Riana minta dibelikan cocktail buah kalengan. Sampeyan tunggu dulu di sini sebentar ya” ucapku pada Mas Suryo
“Injih, Diajeng Ningsih” jawabnya dengan nada menggodaku.
“Oo, dasar centil” ucapku sewot yang langsung disambutnya dengan tawa ngakak. Dia memang suka bercanda. Tapi itulah kelebihannya selalu bisa membuat orang lain tertawa dengan banyolannya. Bakat alam mungkin.
Tergesa-gesa aku masuk kembali ke dalam supermarket. Setelah mengambil sekaleng besar cocktail buah, aku segera menuju kasir. Tetapi, aku urungkan niatku ke sana karena di blok buah-buah segar aku melihat seseorang yang sangat aku kenal. Benar, dia rupanya. Tapi siapa laki-laki yang disampingnya itu. Kenapa mereka mesra sekali, bergandengan tangan sambil sesekali bersenda gurau memilih-milih buah yang diapajang. Kudekati mereka,
“Mbak Keiko” sapaku sembari tersenyum ramah.
“Oh, Mbak Ning” jawabnya setengah kaget karena tak menyangka akan bertemu denganku di tempat ini.
“Sedang apa di sini Mbak, kok tumben nggak pernah main ke rumah lagi. Mbak Riana kangen tuh.” Pancingku.
“Ini, mama mau ada arisan keluarga jadi ya bantu-bantuin belanja buah. Aduh maaf Mbak, belakangan ini aku sibuk. O ya, kenalin Mbak, ini Ivan pacarku” jawabnya agak kikuk dengan wajah sedikit bersemu merah.
“Halo Mbak, saya Ivan” diangsurkannya tangannya padaku.
“Oh iya, Mas saya Ningsih pembantu di rumahnya Mbak Riana” jawabku sambil menerima uluran jabat tangan dari Mas Ivan.
Sekilas kuperhatikan Mas Ivan. Berbadan tinggi tegap, dengan warna kulit yang agak kecoklatan, berwajah tampan dan kalau tersenyum nampak gigi taringnya yang justru membuatnya kelihatan semakin manis. Kalau dilihat dari wajahnya, dia memang pasangan yang cocok buat Mbak Keiko. Tapi, dari sorot matanya yang genit aku langsung tahu kalau Mas Ivan bukan lelaki yang baik. Hmm..kasihan Mbak Keiko. Setelah sedikit berbasa-basi segera aku minta pamit kepada mereka berdua. Buru-buru kubayar cocktail di counter kasir lalu segera keluar dari supermarket. Kasihan Mas Suryo sudah menunggu.
Ternyata dialah lelaki yang menjadi sumber pertengkaran Mbak Riana dan Mbak Keiko. Tetapi aku akan menyimpan dalam benakku sendiri apa yang aku saksikan hari ini, tidak akan aku ceritakan kepada Mbak Riana, bisa marah besar dia nanti.
***
Benar kata orang kalau Januari itu artinya hujan sehari-hari. Bahkan menurutku harusnya hujan sepanjang hari. Sebab baru juga reda 15 menit yang lalu, eh sekarang hujan lagi. Samar-samar dari dapur kudengar ada suara orang bercakap-cakap dari arah ruang keluarga, “siapa” batinku. Sebab sedari tadi Cuma ada Mbak Riana di situ. Penasaran, kutengok sejenak dari ruang makan yang bersebelahan dengan ruang keluarga yang memang hanya dibatasi oleh partisi berupa lemari hias besar berbahan kayu jati. Kulihat ada Mbak Keiko di situ, wah tumben sekali. Sepertinya mereka sudah berbaikan sebab kulihat Mbak Riana tengah berbicara sambil menggenggam tangan Mbak Keiko.
“Kei, aku nggak pernah marah sama kamu. Aku sayang sama kamu,” ucap Mbak Riana tulus.
“Makasih ya, Ri...aku juga sayang sama kamu...aku benar-benar bersyukur punya sahabat sebaik kamu,” balas Mbak Keiko.
Dan tanpa kuduga setelah itu Mbak Keiko mencium pipi Mbak Riana. Duh Gusti, kenapa kamu lakukan itu Mbak Keiko, itu akan semakin menyulitkan Mbak Riana batinku. Ya, aku tahu dan di rumah ini hanya aku yang tahu kalau Mbak Riana memang penyuka sesama jenis. Dan dari dulu akupun sudah tahu bahwa Mbak Keiko adalah cinta matinya.
Sejak perceraian kedua orang tuanya 5 tahun lalu, dia mulai berubah. Papanya ketahuan selingkuh, lalu mamanya menggugat cerai. Mbak Keiko sudah pasti lebih memilih ikut mamanya. Untunglah kakek Mbak Keiko mewariskan bisnis jasa ekspedisi kepada mamanya sehingga setelah perceraian itu mama Mbak Keiko tidak kelabakan mencari sumber penghasilan. Hanya saja sekarang segala sesuatu yang berhubungan dengan bisnis itu harus ditangani sendiri oleh mamanya, karena mengangkat karyawan berarti akan ada pengeluaran tambahan untuk membayar gajinya. Dan sayangnya itu pula yang membuatnya tidak punya banyak waktu untuk memberi perhatian kepada Mbak Riana.
Perbuatan jahat papanya itulah yang membuatnya sakit hati dan begitu membenci laki-laki, amat sangat benci, bahkan dendam lebih tepatnya. Dan akhirnya dia memilih caranya sendiri untuk mencintai sesamanya sebagai wujud pelampiasan dendamnya kepada laki-laki. Sayang sekali bahkan mamanya pun tidak menyadari bahwa anaknya berbeda, terlalu sibuknya ia dengan urusan bisnis meskipun aku maklum kerja banting tulang sang single parent ini adalah demi mencukupi kebutuhan Mbak Riana.
“Ri...” panggil Mbak Keiko.
“Ri...” panggilnya sekali lagi.
“RIANAAAAA” Mbak Keiko berteriak kali ini.
“Hah? Apaan sih, Kei, teriak-teriak gitu?!” ucap Mbak Riana.
“Dipanggil-panggil diam aja sih. Ngelamun mulu. Mikirin apa sih nona Riana yang cantik?” Tanya Mbak Keiko usil.
“Siapa yang ngelamun? Tuh hujannya berisik jadi nggak dengar deh.” Elak Mbak Riana.
Sejurus kemudian kulihat mereka sudah mulai perang bantal.
“Yah, alamat berantakan deh” gumamku sambil tergesa menuju ke dapur, mencium aroma ikan gorengku yang hampir gosong.
Dalam hati aku bersyukur, sebab kalau Mbak Keiko dan Mbak Riana sudah berbaikan kembali berarti Mbak Rianaku akan kembali ceria. Itu yang aku suka, sebab aku pun teramat sangat mencintai Mbak Rianaku.
--***--
Tags:
cerpen
Leave a comment