Senja memerah di ufuk barat, debur ombak memeluk pasir, angin menebarkan aroma laut yang menenangkan. Bahkan pemandangan seindah sunset sore ini tidak bisa meredakan gundah di hati Nadya. Sudah berjam-jam Nadya duduk melamun di pinggir Pantai Senggigi. Jagung bakar yang dibelinya masih utuh tergolek di depannya. Ah...kenapa ini semua harus dialaminya? Sungguh perasaan yang sangat menyiksa. Wajah itu kembali datang menghantuinya, memenuhi pikirannya, tidak hanya saat ini, tetapi hampir setiap detik dihidupnya selama beberapa bulan ini.
Nadya lebih sering melamun bahkan kadang menangis. Tetapi sisi baiknya, dia lebih sering menulis. Ide-ide untuk tulisannya seperti tidak ada habisnya. Dia curahkan semua yang dia rasakan dalam setiap tulisannya. Dia ingin menyampaikan perasaannya lewat tulisan-tulisan itu. Dan hampir tiap hari Nadya ke Senggigi, untuk menumpahkan semua perasaannya pada pasir, laut, angin dan kertas.
Nadya lebih sering melamun bahkan kadang menangis. Tetapi sisi baiknya, dia lebih sering menulis. Ide-ide untuk tulisannya seperti tidak ada habisnya. Dia curahkan semua yang dia rasakan dalam setiap tulisannya. Dia ingin menyampaikan perasaannya lewat tulisan-tulisan itu. Dan hampir tiap hari Nadya ke Senggigi, untuk menumpahkan semua perasaannya pada pasir, laut, angin dan kertas.
***
Nadya sedang menyendiri di bangku taman kampus sambil menatap kosong layar laptop sewaktu Risna, sahabatnya, menghampirinya.
“Ngelamuuuunnn mulu kerjanya” omel Risna begitu sampai didepan Nadya yang disambut cengiran khas Nadya.
“Lama-lama aku khawatir deh Nad sama kamu. Keseringan ngelamun tuh nggak baik Nad.” Risna menasehati.
“Yaelah Ris, siapa juga yang ngelamun?? Aku tuh bukannya ngelamun, tapi lagi nyari inspirasi” Nadya menyangkal tuduhan Risna.
“Nyari inspirasi, berkhayal, bermimpi. Penulis itu harus ya jadi pemimpi yang kerjanya cuma melamun dan berkhayal gitu? Emang gitu ya Nad?” tanya Risna sarkatis.
“Lama-lama kamu nggak bisa bedain lagi mana dunia nyata mana dunia khayalanmu.” Tambahnya.
“Justru penulis itu orang yang cerdas. Bisa berimajinasi, menciptakan dunia baru dengan tokoh-tokoh yang bisa dia atur sekehendak hatinya. Dia bisa buat tokoh itu bahagia, atau kalau dia mau dia bisa buat tokoh itu sangat sangat menderita. Penulis itu jenius bisa meranagkai kata demi kata menjadi kalimat yang indah dan selanjutnya menjadi cerita atau karya yang bisa membuat orang lain yang membacanya terhanyut, tertawa bahkan menangis ketika membacanya. Khayalan dan impian yang dituangkan dalam tulisan itu lebih bagus daripada yang dibiarkan berkeliaran di otak, bisa-bisa seperti yang kamu bilang, nggak bisa bedain mana dunia nyata mana dunia khayal, karena semua nyampur di otak. Penulis lah yang membuat wawasan kita menjadi luas, yang membuat kita berpikir lebih terbuka. Seharusnya kamu bangga punya teman seorang penulis, karena nggak semua orang bisa seperti itu. Satu kata buat penulis, hebat.” Tiba-tiba seorang mahasiswa memotong pembicaraan mereka. Nadya dan Risna kompak melongo mendengar kata-kata orang itu.
“Dan kamu, jangan pernah berhenti menulis.” Lelaki itu berkata kepada Nadya kemudian berlalu.
“Buseeettt...siapa tuh orang? Datang-datang langsung ceramah.” Ujar Risna masih setengah kaget. Nadya masih diam terpaku ditempatnya, masih menatap ke arah lelaki itu pergi.
“Nad...” Risna semakin heran melihat reaksi Nadya. Nadya tetap diam tidak mendengar panggilannya.
“Nadya...heh...sadar woi sadar...” Risna menepuk keras punggung Nadya membuat Nadya hampir terjatuh dari duduknya.
“Kenapa sih? Malah bengong nggak jelas gitu.”
“Eh...nggak kok nggak kenapa-kenapa, cuma kaget aja tiba-tiba ada orang muncul” jawab Nadya masih setengah bengong.
***
Muhammad Rifky Firmansyah nama pemilik wajah yang sering menghantui hari-hari Nadya. Dialah lelaki itu, mahasiswa yang waktu itu datang memotong pembicaraanya dengan Risna. Kata-kata Rifky waktu itu berhasil membuat Nadya terpesona. Entahlah, Nadya juga tidak tahu kenapa waktu itu dia seperti terhipnotis dengan kata-kata lelaki itu. Tapi apa yang disampaikan Rifky seperti sebuah pembelaan untuknya. Dia seperti mendapatkan sebuah dukungan disaat sahabatnya justru selalu meledek hobby menulisnya “Dan kamu, jangan pernah berhenti menulis.” Pesan Rifky waktu itu selalu memberinya semangat lebih untuk terus menulis. Nadya tidak mengenal Rifky, bahkan dia tahu namanya karena sejak saat itu dia berusaha mencari tahu siapa lelaki yang telah membuatnya terhipnotis. Diam-diam Nadya mengumpulkan informasi tentang Rifky, diam-diam sering memandangi Rifky dari jauh, diam-diam sering memikirkan lelaki itu, diam-diam dia telah membuat puluhan puisi dan cerpen untuk Rifky yang tentunya tidak pernah dan mungkin tidak akan pernah Rifky tahu, Nadya tahu tentang Rifky, tapi bahkan Rifky mungkin tidak kenal siapa itu Nadya.
Inikah yang disebut jatuh cinta?
Perasaan hangat dan detak jantung berlarian jika melihatnya
Inikah yang disebut rindu?
Ingin selalu ada didekatnya dan melihat wajahnya
Kata orang cinta itu indah
Kata orang rindu itu indah
Tapi apa yang aku rasakan saat ini?
Perasaan yang sangat menyiksa
Aku benci rasa ini
Apakah aku juga harus membencinya?
Agar aku terbebas dari siksaan ini
Tetesan air mata Nadya membasahi kertas yang sedang ditulisnya. Matahari senja sudah berganti kelamnya malam. Angin pantai semakin dingin menerpa. Isak Nadya semakin keras, namun desir ombak mengaburkannya. Ini pertama kalinya Nadya jatuh cinta dan dia merasa telah mencintai orang yang salah. Seharusnya bukan Rifky yang bahkan mereka tidak saling kenal. Seharusnya seseorang yang dia kenal dan mengenalnya dan seharusnya orang itu punya perasaan yang sama dengannya. Itulah cinta yang selama ini dia bayangkan. Cinta dalam impian Nadya itu indah, membuatnya bahagia. Tapi cinta yang dia rasakan sekarang adalah cinta yang menyiksa, yang membuat hatinya sakit, yang membuatnya sering menangis, yang membuatnya ingin terus mencintai tetapi disaat yang sama ingin membenci.
“Aku harus melupakan Rifky” bisiknya pada pasir pantai.
***
Cuaca Kota Mataram sangat tidak bersahabat, panas menyengat dengan angin dingin membuat penyakit mudah datang. Di siang yang terik itu Nadya melihat-lihat koleksi buku terbaru di sebuah toko buku di Jalan Airlangga. Nadya bisa menghabiskan waktu berjam-jam di toko buku. Apalagi di toko buku ini ada persewaan buku juga, jadi bisa sekalian meminjam buku untuk dibaca. Nadya sedang larut dengan bacaannya ketika sebuah suara menyapanya.
“Eh...kamu yang penulis itu kan?” tanya sebuah suara. Spontan Nadya menutup buku yang tengah dibacanya demi mendengar suara itu. Suara yang sangat dikenalnya, suara yang selalu ingin didengarnya, suara Rifky. Perlahan Nadya menoleh ke sumber suara dan Rifky berdiri tepat di hadapannya kini. Nadya bengong begitu melihat Rifky.
“Hei...halooo....kok bengong sih? Inget nggak sama aku? Kita pernah ketemu kan?” tanya Rifky heran.
“Eh...emmm...iya inget, yang waktu itu kan? Hehehe...” dengan salah tingkah dan wajah memerah Nadya berusaha menjawab.
“Masih nulis?” Rifky bertanya lagi.
“Eh iya masih kok masih, masih nulis, hehehe..” wajah Nadya semakin memerah. Tiba-tiba suara Rifky waktu itu muncul kembali di otaknya “Dan kamu, jangan pernah berhenti menulis.”. Nadya jadi tersenyum sendiri.
”Oya kita belum kenalan. Rifky.” Rifky mengulurkan tanggannya. Dengan sedikit ragu Nadya membalas jabat tangan Rifky.
“Nadya”
Nadya merasakan tubuhnya sedikit limbung. Dia masih bertanya-tanya dalam hati, “Apakah ini kenyataan atau khayalan? Jangan-jangan benar yang dikatakan Risna, dan sekarang aku nggak bisa bedain mana kenyataan mana khayalan”
Tetapi dia yakin, sosok di hadapannya ini nyata. Perkenalannya dengan Rifky nyata. Dan obrolan mereka siang ini nyata. Apakah mungkin suatu saat nanti cintanya untuk Rifky akan nyata terbalas? Entahlah.
*Cerpen ini masuk dalam Antologi Bimbang #2 yang diterbitkan oleh Nulisbuku
*Cerpen ini masuk dalam Antologi Bimbang #2 yang diterbitkan oleh Nulisbuku
Tags:
cerpen
Leave a comment